Let's Read and Spread More Loves

(Photo by Author)


“I AM SARAHZA”

Oleh Hanum Salsabiela Rais & Rangga Almahendra

Penerbit Republika

Cetakan ke-5, Februari 2019

370 hlm; 13,5x20,5 cm

Rp75.000,-

 

 

 

“Laa Yukallifuwwah-hu Nafsan illaa Wus’ahaa”

Tidaklah Dia akan membebani kita hamba-Nya dengan beban yang tak kuasa kita pikul

 

While there’s hope, there’s life

Di mana ada harapan, di situ ada kehidupan

 

Takjub. Takjub akan kuasa Allah SWT, Tuhan seru sekalian Alam. Takjub akan keajaiban Lauhul Mahfuzh. Takjub akan kegigihan seorang perempuan yang mendamba predikat ‘Ibu’. Dan takjub akan kekuatan doa.

 

Itulah yang kurasakan ketika selesai membaca buku yang membuatku benar-benar tak habis pikir akan seorang Hanum Salsabiela Rais, putri kedua Bapak Amien Rais (mantan calon presiden RI 2004). Benar-benar tidak kusangka.

 

Sungguh, di dunia ini satu-satunya sumber keajaiban adalah Allah SWT.

Jika kau merasa benar-benar sudah mengerahkan seluruh tenaga dan usahamu untuk meraih sesuatu yang kau inginkan, yakinlah, masih ada satu faktor terakhir sebagai penentu keberhasilan usaha itu, ialah faktor X, faktor paling puncak, alias berserah diri kepada Allah SWT.

 

Sudah sering mendengar itu kan?

Kewajiban kita adalah berusaha dan berdoa. Sisanya urusan Allah SWT. Apapun hasilnya, jika Allah SWT berkehendak demikian, artinya, hasil tersebut memang yang terbaik untuk kita. Setidaknya untuk sekarang.

 

Awalnya kupikir ini hanya buku biasa yang menceritakan seorang anak perempuan kesayangan Hanum dan Rangga, paling-paling isinya juga nggak jauh-jauh dari memamerkan kebahagiaan, keceriaan, senda gurau dan lain-lain. Hehe. Aku sudah keterlaluan ya su’udzonnya.

 

Tapi aku tetap tertarik untuk memilikinya. Mengingat karya-karya Hanum sebelumnya yang berhasil membuatku berdecak kagum dan berlinang air mata, pastilah karyanya yang ini juga akan membuatku lebih terheran-heran.

 

Dan ternyata benar.

 

(Sumber: twitter.com/rykarlsen)

Melalui buku ini Hanum bercerita lika-liku perjalanan hidup pasca pernikahannya dengan Rangga hingga perjuangannya untuk mendapatkan Sarahza. Asal Kau tahu, aku sudah mengincar buku ini sejak sebelum diterbitkan (tahun 2018), setelah aku menamatkan bacaanku pada buku 99 Cahaya di Langit Eropa serta Bulan Terbelah di Langit Amerika yang juga karya mereka.

 

Masyaa Allah...

Ketika membaca bagian yang membuatku terhempas, aku tidak tahu harus berkata apalagi. Sekelas penulis best seller Hanum Salsabiela Rais & Rangga Almahendra, yang namanya selalu dicetak timbul di buku karyanya, yang selalu kuinginkan agar aku bisa menjadi penulis hebat seperti dia,  ternyata mengawali karier sebagai penulis justru di saat mereka berada di titik terendah dalam hidupnya. Saat kesedihan paling berat menghujani mereka.

 

Kupikir ide menulis dua buku sejarah islam di atas adalah murni karena ia memang ingin menulisnya, ingin jalan-jalan keliling dunia, ingin menapaki sejarah islam, atau dengan kata lain karena ia bahagia. Kupikir mereka murni merasakan kebahagiaan yang tak terhingga ketika traveling di bumi Allah SWT, Eropa dan Amerika.

 

Namun, ternyata itu semua adalah salah satu usaha yang mereka lakukan alih-alih daripada terus terpuruk dalam kesedihan yang entah akan berlanjut sampai kapan. Walaupun begitu, mereka tetap menyelipkan niat dakwah dalam usaha mereka itu. Dakwah sambil menulis buku dan menyusun skenario film. Hasilnya, mereka benar belajar dari hal-hal yang tidak tahu menjadi pengetahuan dan pengalaman baru. Itu semua tersalur juga dalam diriku. Baca saja buku 99 Cahaya di Langit Eropa dan Bulan Terbelah di Langit Amerika.

 

Pikirku, bagaimana bisa ia menyelesaikan dua buku yang temanya lumayan berat itu justru di saat ia sendiri sedang dilanda kesusahan? Bukunya best seller pula. Jadi selama ini, dibalik hingar-bingar penayangan film 99 Cahaya di Langit Eropa dan Bulan Terbelah di Langit Amerika, ada jiwa manusia yang sedang tak tentram hidupnya, pikirannya khawatir dan gelisah, kesedihannya tak kunjung reda malah semakin membabi buta hingga ia hampir mengalami depresi, keluar jalur. Namanya Hanum Salsabiela Rais.

 

Masyaa Allah... sekali lagi.

(Sumber: twitter.com/rykarlsen)


Kuasa Allah SWT memang tidak bisa ditebak. Semua serba abu-abu di mata manusia. Namun, sungguh, semua takdir manusia itu sudah digariskan dalam Lauhul Mahfuzh.

 

Aku tidak ingin memberikan spoiler terlalu banyak di sini. Alangkah baiknya Kau membaca sendiri setiap detail di buku ini. Kujamin Kau akan berpendapat sama sepertiku. Takjub. Kagum. Tak habis pikir.

 

Rasanya aku ingin menyapa Hanum lalu mengatakan ini,

Mbak Hanum benar-benar hebat. Mbak Hanum lulus ujian dari Allah SWT, ujiannya pasti berat banget ya, Mbak. Mbak deserve it so much. Good job, Mbak!

 

Dan yang paling utama dari semua ini adalah adanya sosok suami yang kesetiaannya tidak diragukan sedikitpun, Rangga Almahendra, yang tidak pernah absen menemani Hanum kapanpun dimanapun, yang selalu menghibur dan memberikan jokes gombalan pada Hanum saat ia murung berhari-hari, yang selalu berada di garda terdepan untuk melindungi Hanum.

 

Aku sangat terpesona dengan kisah pertemuan mereka berdua. Pokoknya romantis dan dramatis. Kau harus baca bagian itu. Memang semua perjalanan hidup ini adalah suratan takdir. Termasuk perjalananku dan kalian juga.

 

Ah, satu lagi. Aku juga suka semangat Rangga mengejar beasiswa sampai ke Negara Austria. Semenjak tahu kehidupan Rangga menempuh predikat doktoral di Wina, aku jadi ingin mencicipi negara Austria.

 

Dari karya Hanum & Rangga inilah, aku menyukai benua Eropa. Aku juga ingin rihlah ke sana, menapaki jejak islam yang masih tersisa, belajar dan mendapatkan beasiswa. Apapun itu. Semenjak 99 Cahaya di Langit Eropa, aku jadi ingin keliling Eropa. Suatu saat. Aamiin.

 

Kalau ini adalah kisah terindah yang pernah Hanum & Rangga tulis, maka ini adalah kisah terindah yang pernah kubaca.


I give 9/10 for this book•

 

 

The depressing moments are the best moments to depress ourselves to Allah –hlm 284

 


(Sumber: twitter.com/rykarlsen)
(Sumber: twitter.com/rykarlsen)


Di angkasa,

gumpalan permen kapas yang merata

Jejak itu ada

Terlihat sangat nyata

Secercah harapan terpatri di sana

Entah kapan ia akan terbuka

 

Garis putih lurus memanjang

Terlihat sangat nyata

Namun, akal ini tak kuasa

Masih adakah ia di angkasa?

Garis itu... jejak burung beroda

Klise yang nyata

 

Dimana Sang Mimosa pudica?

Dimanakah ia?

Akankah ia terlena?

Tidak! Kurasa tidak!

Ia hanya merona, memang benar

Sang Mimosa pudica dari timur

 

Kemana tirai bening itu?

Kemanakah ia?

Mungkinkah ia marah?

Tidak! Kurasa tidak!

Ini bukan zonanya, memang benar

Tirai bening dari khatulistiwa

 

Mengapa hanya ‘ini’ yang menyala?

Gulungan butiran putih nun jauh di sana

Semakin dekat... semakin terlihat

Bola salju raksasa?

Bukan! Bukan sekadar itu, ternyata–

Seperti... manusia?

Ah! Itu boneka salju

 

Lantas, hanya inikah?

Kabut putih terlalu serakah

Sinarnya ber-efek tyndall

Langit redup mendekap jiwa

Dalam remang mataku menyapa

Di manakah siluet yang nyata?

 

Tak ada warna di sana,

putih kelabu,

hanya itu,

remang-remang,

samar,

mungkinkah... hatiku seredup itu?

 





(Photo by Author)
 
How To Respect My Self🎀
자존감 수업
Oleh Yoon Hong Gyun
Penerbit Transmedia Pustaka
Cetakan ke-1, 2020
342 hlm; 14x20 cm
ISBN (13) 978-623-7100-33-1
Rp99.000,-



Bagaimana Anda menjaga dan mencintai diri sendiri?
(Kutipan dari sinopsis buku)

Yang pertama kali kulakukan sebelum benar-benar membaca buku ini adalah membuka bagian profil penulisnya terlebih dahulu. Penulisnya adalah seorang dokter kejiwaan Korea Selatan, sekaligus... seorang penulis. Ia juga menyebut dirinya sebagai ‘dokter kejiwaan yang menulis’. 

Di zaman sekarang, siapa yang tidak suka menulis? Kurasa semua orang sedikit demi sedikit mulai banyak menulis, menceritakan kisah hidup mereka, kisah perjuangan melawan sesuatu yang sulit, kisah mengharukan yang pernah dialami, dan lain-lain. Banyak juga yang mulai menerbitkan bukunya.  

Menyenangkan, ya?

Tulisan kita dibaca oleh banyak orang. Kemudian orang menjadi tertarik dan penasaran dengan cerita selanjutnya yang akan kita ciptakan. Banyak orang menanti tulisan kita. Banyak orang terharu atas apa yang kita alami, yang kita tuangkan dalam secarik kertas.

Pasti itu hal yang sangat menyenangkan... bagiku, seseorang yang bermimpi menjadi seorang penulis, sekaligus... dokter kejiwaan.
Hahaha. Mimpi saja. Aku menginginkan sesuatu yang mustahil. Hampir tidak mungkin terjadi. Apa katamu? Penulis sekaligus dokter kejiwaan? Haduh~ sudahlah.

Aku sedikit iri kepada orang-orang yang dengan mudahnya menggapai impian mereka. Seperti, dr. Yoon Hong Gyun ini. Beliau kan dokter kejiwaan yang menulis, katanya. Beliau sejak kecil tertarik dengan psikologi, lalu memutuskan ingin menjadi dokter kejiwaan. Lalu, ketika berusia remaja, beliau juga sering membaca buku yang memadukan sains dan psikologi. Jadilah, ia tertarik untuk membuat tulisan serupa. Baca saja di profil penulis pada halaman paling belakang buku ini.

Tapi, tidak apa-apa kan iri dalam hal kebaikan?

Suatu hari, aku menemukan sebuah cuitan di akun twitter seseorang yang followersnya terbilang cukup banyak. Katanya, “Pengen jadi Chef, tapi malah jadi Dokter”.

Hah?! Aku langsung tercengang. Dalam hatiku, Itu dua-duanya pekerjaan prestige tau! Bisa-bisanya ada kalimat ‘malah jadi Dokter’.

Huft. Cukup sampai disini ocehan untuk membuka review ini. Jadi, intinya bagaimana menurutmu? Setelah mengaitkan judul buku dan kata-kata penuh kedengkian di atas? HAHA.

Asal Kau tahu saja, aku memang menyimpan rasa iri tingkat tinggi terhadap orang-orang dalam dunia kejiwaan. Psikologi, Psikiater, Dokter Jiwa, semuanya deh pokoknya. Aku pernah mengikuti ujian masuk universitas, tujuanku pada saat itu adalah masuk bidang penjuruan Psikologi. Tapi, gagal. Sampai saat inisudah hampir lulus dari universitasku yang sekarangaku masih saja menyalahkan diriku sendiri atas kegagalanku waktu itu.

Jadi, apa aku belum bisa menjaga dan mencintai diri sendiri? Apa aku tidak bisa menghargai diriku sendiri?

(Sumber: wall.alphacoders.com)


Buku ini sepenuhnya menceritakan tentang betapa pentingnya manusia memiliki, membangun dan mempertahankan harga diri mereka.
Di situasi tertentu dalam kehidupan, terkadang kita harus melakukan sesuatu hingga mempertaruhkan harga diri. Sebenarnya itu tidak perlu. Kenapa kita harus membuang harga diri kita? Kenapa itu perlu dilakukan? Agar kita lebih dicintai? Agar kita tidak dikucilkan? Atau apa?

Setelah itu apa? Apakah kita merasa lega? Apakah kita puas dengan yang sudah kita lakukan? Atau malah sebaliknya? Ada perasaan tertekan dan justru membuat beban pikiran lebih banyak?
 
Fiuhh. Aku sendiri juga agak bingung dengan persoalan harga diri ini, yang notabenenya selalu melibatkan sesuatu yang disebut ‘pandangan masyarakat’. 

Awalnya, aku ragu,
Apakah aku akan baik-baik saja jika tidak masuk jurusan Psikologi?
Apa yang akan dikatakan oleh para ‘penggibah’ jika seorang aku duduk di bangku universitas hanya belajar hal-hal tidak penting seperti yang sekarang sedang kujalani?
Bagaimana pandangan masyarakat tentang hal itu?

Aku pernah berada di fase itu. Fase ketika harga diri benar-benar menjadi taruhan. Fase dimana rendah diri (dibaca: minder) adalah emosi yang tampak sangat tinggi pada diri ini. Fase dimana aku mulai berpikir bahwa aku adalah orang yang tidak layak untuk dicintai, orang yang tidak punya nilai sama sekali, orang yang tidak pernah diakui, kecewa, tak bersemangat, tidak tertarik terhadap apapun, luka, dan lain-lain yang jika disatukan akan berbunyi orang yang tidak berguna.

Benar-benar fase yang sulit bukan? Menyedihkan sekali memang.

Tapi, semua itu pada akhirnya akan berlalu. Hanya angin belaka. Lanjutkan saja perjalanan yang sudah terlanjur berjalan ini. Daripada berhenti di tengah jalan, ya kan? Lebih baik dilanjutkan, walaupun nantinya Kau akan berjalan merangkak, tertatih, tersandung batu dan kerikil, tetap lanjutkan saja. Boleh berbelok arah sedikit. Karena namanya perjalanan, tidak selalu lurus, kan?

Mengutip kalimat dr. Yoon bahwa,
bila kita sadari, tidak ada hal yang kita hadapi di dunia ini yang seperti antara hidup dan mati. Sebagian besar perselisihan dimulai dari hal kecil. Seperti, bagaimana kalau begini dan bagaimana kalau begitu? Perlukah orang-orang yang tidak penting bagi kita atau tidak kita sukai mengganggu kita?

Jadi, mulai sekarang, jangan berjalan menunduk terlalu lama. Sesekali tegakkanlah tubuhmu. Luruskan pandanganmu. Kau juga berhak menikmati jalanan yang kau lewati, bukan?

I give 8/10 for this book• 

Menghafal mantra penghapus sifat sensitif: “Memangnya kenapa?!”, “Lalu kenapa?!”, “Kalau salah, kenapa?!”


Terima Kasih
Salam Hangat