Tampilkan postingan dengan label Fiction. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fiction. Tampilkan semua postingan

(Sumber: twitter.com/rykarlsen)
(Sumber: twitter.com/rykarlsen)


Di angkasa,

gumpalan permen kapas yang merata

Jejak itu ada

Terlihat sangat nyata

Secercah harapan terpatri di sana

Entah kapan ia akan terbuka

 

Garis putih lurus memanjang

Terlihat sangat nyata

Namun, akal ini tak kuasa

Masih adakah ia di angkasa?

Garis itu... jejak burung beroda

Klise yang nyata

 

Dimana Sang Mimosa pudica?

Dimanakah ia?

Akankah ia terlena?

Tidak! Kurasa tidak!

Ia hanya merona, memang benar

Sang Mimosa pudica dari timur

 

Kemana tirai bening itu?

Kemanakah ia?

Mungkinkah ia marah?

Tidak! Kurasa tidak!

Ini bukan zonanya, memang benar

Tirai bening dari khatulistiwa

 

Mengapa hanya ‘ini’ yang menyala?

Gulungan butiran putih nun jauh di sana

Semakin dekat... semakin terlihat

Bola salju raksasa?

Bukan! Bukan sekadar itu, ternyata–

Seperti... manusia?

Ah! Itu boneka salju

 

Lantas, hanya inikah?

Kabut putih terlalu serakah

Sinarnya ber-efek tyndall

Langit redup mendekap jiwa

Dalam remang mataku menyapa

Di manakah siluet yang nyata?

 

Tak ada warna di sana,

putih kelabu,

hanya itu,

remang-remang,

samar,

mungkinkah... hatiku seredup itu?

 





(Sumber: wall.alphacoders.com)


Ketika angan ini mengelana
Terbang berayun-ayun tinggi di angkasa
Bertaut dengan lembutnya hamparan mega
Menari ria bersaingkan seribu dara
Di situlah hulu catatan mulai terbuka
Lembaran putihpun ternodakan pena
Sebenarnya...
“Apa Kau terjerat untaian asmara?”
Kisahmu bak gelaran permadani sutra
Izinkan...
Izinkan aku memoles cerita
Bukan tentang kasih dan asmara
Bukan pula tentang rajutan duka

Kala kuda perang mengabdi
Entah apa yang ia ikuti
Entah kubu hitam atau kubu putih
Bukan delusi bukan ilusi
Jejaknya tetap menapak pasti
Seruannya telah terpatri
Dangkal nun jauh dalam sanubari
Seakan iapun siap mati

Ya... ribuan tahun silam
Gedung itu penuh pujian
Sesak akan nyanyian Tuhan
Berisik oleh segerombolan pengisi alam
Ia mungkin tahu, dirinya beralih peran
Ialah Hagia Sophia, wadah peribadatan
Takhta agung bagi Umat Kristian
Hingga akhirnya diperebutkan zaman

Ya... ratusan tahun silam
Bangunan itu bagai sebongkah berlian
Berlian yang teronggok di pusat keramaian
Pasrah,
tak bergejolak,
dan diam
Ia mungkin tahu, dirinya berada di sentra peradaban
Ialah Hagia Sophia, wadah peribadatan
Singgasana agung bagi Umat Islam
Hingga akhirnya digerogoti zaman

Ya... puluhan tahun silam
Sejak kuda perang mulai berperang
Hingga kini, pedang tak lagi bertuan
Hingga kini, penguasa jagad adalah pengetahuan
Bangunan itu masih kokoh menjulang
Bagai gubug dalam rinai hujan
Bangunan itu tetap menjadi pijakan

Ia mungkin tahu,
dirinya bukan lagi wadah peribadatan
Ia mungkin tahu,
dirinyalah pencurah kedamaian
Ialah Hagia Sophia,
benang rajut kehidupan
Istana megah nan menawan
Membantai benda-benda peninggalan
Mengikat simpul tali persaudaraan

Begitulah kisah benang kedamaian
Yang merajut kembali asa kehidupan
Pembawa lentera pada angan yang makin menjulang
Entah sampai di mana ia akan terbang
Namun, di sinilah,
Di kalbu inilah catatan itu akan tersimpan
Dalam kerasnya samudra kehidupan




[Wish me can fly to the countryーnamed Turkiye, 🎔]

(Sumber: stocksnap.io)


Ketika hujan mulai berhamburan
Merebutkan posisi pertama
Untuk jatuh tepat di permukaan tanah
Ketika itu...
Malam hari...
Langit baru saja melayani para kurcaci di bawahnya
Memberikan cahaya kilau yang bertabur bintang
Dan sekarang ini cahaya itu telah lenyap
Juga bintangnya...
Kurcaci – kurcaci merangkak entah kemana
Bukan merangkak, mungkin merengek...
Karena kilau bintangnya lenyap tak bersisa
Direnggut hujan yang tak berdosa...


Sekarang ini, aku ingin mengetahuinya
Hanya pada saat hujan sekarang ini
Perasaanku seperti setetes air hujan
Seperti maple di musim gugur
Bahkan...
Seperti gunung es yang saljunya makin menebal

Hanya ada satu yang aku inginkan
Aku ingin mengetahuinya...
Apakah kamu merasa... ?
Seperti langit yang terus menerus melemparkan bulirnya
Membiarkan tetesannya terus mengalir
Pada jiwa yang entah menginginkan apa
Tapi ia tak ingin hujan...
Apakah kamu merasa seperti itu ?
Kamu tahu ? Itu sangat melukaiku...


Andaikata...
Aku kehilangan musim semiku
Tidak masalah...
Aku bahkan tak tahu kapan itu mulai bersemi
Aku masih bisa menikmati hari – hari bersama hujan
Yang bahkan aku tahu itu sangat melukaiku
Tapi aku percaya satu hal
Langit tak akan membiarkan jiwa yang ringkuh ini
Terus memperdalam lukanya
Mungkin ia akan menyuguhkan kilaunya lagi setelah itu

Meskipun sebenarnya... Aku tahu...
Kurcaci – kurcaci tadi masih enggan
Menatap hujan
Tapi, aku berharap...
Angin selalu berhembus
Membawa harapan – harapanku
Luluh bersama hujan...




[Kala itu, pertama kali aku terbang terlalu tinggi dan sakit ketika jatuh]