(Photo by Author)
 
How To Respect My Self🎀
자존감 수업
Oleh Yoon Hong Gyun
Penerbit Transmedia Pustaka
Cetakan ke-1, 2020
342 hlm; 14x20 cm
ISBN (13) 978-623-7100-33-1
Rp99.000,-



Bagaimana Anda menjaga dan mencintai diri sendiri?
(Kutipan dari sinopsis buku)

Yang pertama kali kulakukan sebelum benar-benar membaca buku ini adalah membuka bagian profil penulisnya terlebih dahulu. Penulisnya adalah seorang dokter kejiwaan Korea Selatan, sekaligus... seorang penulis. Ia juga menyebut dirinya sebagai ‘dokter kejiwaan yang menulis’. 

Di zaman sekarang, siapa yang tidak suka menulis? Kurasa semua orang sedikit demi sedikit mulai banyak menulis, menceritakan kisah hidup mereka, kisah perjuangan melawan sesuatu yang sulit, kisah mengharukan yang pernah dialami, dan lain-lain. Banyak juga yang mulai menerbitkan bukunya.  

Menyenangkan, ya?

Tulisan kita dibaca oleh banyak orang. Kemudian orang menjadi tertarik dan penasaran dengan cerita selanjutnya yang akan kita ciptakan. Banyak orang menanti tulisan kita. Banyak orang terharu atas apa yang kita alami, yang kita tuangkan dalam secarik kertas.

Pasti itu hal yang sangat menyenangkan... bagiku, seseorang yang bermimpi menjadi seorang penulis, sekaligus... dokter kejiwaan.
Hahaha. Mimpi saja. Aku menginginkan sesuatu yang mustahil. Hampir tidak mungkin terjadi. Apa katamu? Penulis sekaligus dokter kejiwaan? Haduh~ sudahlah.

Aku sedikit iri kepada orang-orang yang dengan mudahnya menggapai impian mereka. Seperti, dr. Yoon Hong Gyun ini. Beliau kan dokter kejiwaan yang menulis, katanya. Beliau sejak kecil tertarik dengan psikologi, lalu memutuskan ingin menjadi dokter kejiwaan. Lalu, ketika berusia remaja, beliau juga sering membaca buku yang memadukan sains dan psikologi. Jadilah, ia tertarik untuk membuat tulisan serupa. Baca saja di profil penulis pada halaman paling belakang buku ini.

Tapi, tidak apa-apa kan iri dalam hal kebaikan?

Suatu hari, aku menemukan sebuah cuitan di akun twitter seseorang yang followersnya terbilang cukup banyak. Katanya, “Pengen jadi Chef, tapi malah jadi Dokter”.

Hah?! Aku langsung tercengang. Dalam hatiku, Itu dua-duanya pekerjaan prestige tau! Bisa-bisanya ada kalimat ‘malah jadi Dokter’.

Huft. Cukup sampai disini ocehan untuk membuka review ini. Jadi, intinya bagaimana menurutmu? Setelah mengaitkan judul buku dan kata-kata penuh kedengkian di atas? HAHA.

Asal Kau tahu saja, aku memang menyimpan rasa iri tingkat tinggi terhadap orang-orang dalam dunia kejiwaan. Psikologi, Psikiater, Dokter Jiwa, semuanya deh pokoknya. Aku pernah mengikuti ujian masuk universitas, tujuanku pada saat itu adalah masuk bidang penjuruan Psikologi. Tapi, gagal. Sampai saat inisudah hampir lulus dari universitasku yang sekarangaku masih saja menyalahkan diriku sendiri atas kegagalanku waktu itu.

Jadi, apa aku belum bisa menjaga dan mencintai diri sendiri? Apa aku tidak bisa menghargai diriku sendiri?

(Sumber: wall.alphacoders.com)


Buku ini sepenuhnya menceritakan tentang betapa pentingnya manusia memiliki, membangun dan mempertahankan harga diri mereka.
Di situasi tertentu dalam kehidupan, terkadang kita harus melakukan sesuatu hingga mempertaruhkan harga diri. Sebenarnya itu tidak perlu. Kenapa kita harus membuang harga diri kita? Kenapa itu perlu dilakukan? Agar kita lebih dicintai? Agar kita tidak dikucilkan? Atau apa?

Setelah itu apa? Apakah kita merasa lega? Apakah kita puas dengan yang sudah kita lakukan? Atau malah sebaliknya? Ada perasaan tertekan dan justru membuat beban pikiran lebih banyak?
 
Fiuhh. Aku sendiri juga agak bingung dengan persoalan harga diri ini, yang notabenenya selalu melibatkan sesuatu yang disebut ‘pandangan masyarakat’. 

Awalnya, aku ragu,
Apakah aku akan baik-baik saja jika tidak masuk jurusan Psikologi?
Apa yang akan dikatakan oleh para ‘penggibah’ jika seorang aku duduk di bangku universitas hanya belajar hal-hal tidak penting seperti yang sekarang sedang kujalani?
Bagaimana pandangan masyarakat tentang hal itu?

Aku pernah berada di fase itu. Fase ketika harga diri benar-benar menjadi taruhan. Fase dimana rendah diri (dibaca: minder) adalah emosi yang tampak sangat tinggi pada diri ini. Fase dimana aku mulai berpikir bahwa aku adalah orang yang tidak layak untuk dicintai, orang yang tidak punya nilai sama sekali, orang yang tidak pernah diakui, kecewa, tak bersemangat, tidak tertarik terhadap apapun, luka, dan lain-lain yang jika disatukan akan berbunyi orang yang tidak berguna.

Benar-benar fase yang sulit bukan? Menyedihkan sekali memang.

Tapi, semua itu pada akhirnya akan berlalu. Hanya angin belaka. Lanjutkan saja perjalanan yang sudah terlanjur berjalan ini. Daripada berhenti di tengah jalan, ya kan? Lebih baik dilanjutkan, walaupun nantinya Kau akan berjalan merangkak, tertatih, tersandung batu dan kerikil, tetap lanjutkan saja. Boleh berbelok arah sedikit. Karena namanya perjalanan, tidak selalu lurus, kan?

Mengutip kalimat dr. Yoon bahwa,
bila kita sadari, tidak ada hal yang kita hadapi di dunia ini yang seperti antara hidup dan mati. Sebagian besar perselisihan dimulai dari hal kecil. Seperti, bagaimana kalau begini dan bagaimana kalau begitu? Perlukah orang-orang yang tidak penting bagi kita atau tidak kita sukai mengganggu kita?

Jadi, mulai sekarang, jangan berjalan menunduk terlalu lama. Sesekali tegakkanlah tubuhmu. Luruskan pandanganmu. Kau juga berhak menikmati jalanan yang kau lewati, bukan?

I give 8/10 for this book• 

Menghafal mantra penghapus sifat sensitif: “Memangnya kenapa?!”, “Lalu kenapa?!”, “Kalau salah, kenapa?!”


Terima Kasih
Salam Hangat


(Sumber: wall.alphacoders.com)


Ketika angan ini mengelana
Terbang berayun-ayun tinggi di angkasa
Bertaut dengan lembutnya hamparan mega
Menari ria bersaingkan seribu dara
Di situlah hulu catatan mulai terbuka
Lembaran putihpun ternodakan pena
Sebenarnya...
“Apa Kau terjerat untaian asmara?”
Kisahmu bak gelaran permadani sutra
Izinkan...
Izinkan aku memoles cerita
Bukan tentang kasih dan asmara
Bukan pula tentang rajutan duka

Kala kuda perang mengabdi
Entah apa yang ia ikuti
Entah kubu hitam atau kubu putih
Bukan delusi bukan ilusi
Jejaknya tetap menapak pasti
Seruannya telah terpatri
Dangkal nun jauh dalam sanubari
Seakan iapun siap mati

Ya... ribuan tahun silam
Gedung itu penuh pujian
Sesak akan nyanyian Tuhan
Berisik oleh segerombolan pengisi alam
Ia mungkin tahu, dirinya beralih peran
Ialah Hagia Sophia, wadah peribadatan
Takhta agung bagi Umat Kristian
Hingga akhirnya diperebutkan zaman

Ya... ratusan tahun silam
Bangunan itu bagai sebongkah berlian
Berlian yang teronggok di pusat keramaian
Pasrah,
tak bergejolak,
dan diam
Ia mungkin tahu, dirinya berada di sentra peradaban
Ialah Hagia Sophia, wadah peribadatan
Singgasana agung bagi Umat Islam
Hingga akhirnya digerogoti zaman

Ya... puluhan tahun silam
Sejak kuda perang mulai berperang
Hingga kini, pedang tak lagi bertuan
Hingga kini, penguasa jagad adalah pengetahuan
Bangunan itu masih kokoh menjulang
Bagai gubug dalam rinai hujan
Bangunan itu tetap menjadi pijakan

Ia mungkin tahu,
dirinya bukan lagi wadah peribadatan
Ia mungkin tahu,
dirinyalah pencurah kedamaian
Ialah Hagia Sophia,
benang rajut kehidupan
Istana megah nan menawan
Membantai benda-benda peninggalan
Mengikat simpul tali persaudaraan

Begitulah kisah benang kedamaian
Yang merajut kembali asa kehidupan
Pembawa lentera pada angan yang makin menjulang
Entah sampai di mana ia akan terbang
Namun, di sinilah,
Di kalbu inilah catatan itu akan tersimpan
Dalam kerasnya samudra kehidupan




[Wish me can fly to the countryーnamed Turkiye, 🎔]