[Minum Teh]


(Sumber: unsplash.com)



Hari ini, 25 Agustus 2020.

Malam sekitar pukul 10, tiba-tiba aku ingin minum teh hangat nan wangi yang baru saja diseduh diiringi dengan cemilan roti tawar tanpa selai. Semua ini gara-gara aku habis menonton Variety Show Korea Selatan yang berjudul “Summer Vacation”, yang tentu saja itu sangat healingable menurutku.

Dari judulnya saja sudah kelihatan bukan? 🌴🌳💧🌦🍃🌿🌞🏖🏝🏄‍♀️🏄‍♂️

Isinya liburan di musim panas. Selama satu bulan, tinggal di sebuah pedesaan dekat pantai. Berbagai aktivitas dapat dilakukan selama itu.



Bercocok tanam, memberi makan hewan peliharaan, memasak makanan kesukaan, berenang di pantai, membuat gundukan dari pasir pantai, bersepeda keliling desa sepanjang jalan di sekitar pantai, memetik buah dan sayur di kebun, minum teh sambil ngobrol santai di halaman depan rumah, menikmati gemericik suara hujan, kicau burung, dan angin yang lalu lalang serta menghayati indahnya langit fajar dan senja yang tidak bisa dilakukan di kompleks perumahan perkotaan.

 

Syahdu, bukan?

Itu sangat syahdu menurutku. Aku suka hal-hal sederhana seperti itu. apalagi setelah melihat beberapa tayangan variety show Korea yang sedikit banyak isinya seperti itu. Fiuhh. Rasanya ingin menghabiskan hari tua di tempat seperti itu alih-alih di kompleks apartemen mewah nan megah yang di sana kita tidak akan pernah bisa menyentuh tanah tanpa alas kaki.



(Sumber: unsplash.com)

(Sumber: unsplash.com)

(Sumber: unsplash.com)



Kembali ke cerita awal.

Bayangkan saja, aku ingin minum teh pada pukul 10 malam ketika semua orang sudah terlelap di kamarnya masing-masing (saat itu aku sedang berada di asrama kampusku). Tapi, untunglah masih ada 1-2 orang yang masih terjaga sehingga itu membuatku berani untuk segera menyeduh teh (karena aku sangat penakut, jadi harus ada orang yang setidaknya mengobrol di tengah malam agar tidak terkesan sunyi dan horor, sebab suasana asrama saat itu sangat sepi kau tahu).

 

Yah, begitulah. Aku habis melihat tayangan Summer Vacation episode 4. Di situ, tampak sedang hujan, host menginap di sebuah kuil untuk mengikuti pelatihan 1 hari 1 malam. Kemudian, sambil minum teh mereka bertukar cerita. Lingkungan di sana sangat hijau, udaranya bersih dan segar, ditambah ada suara khas hujan di malam hari. Hmm, syahdu.

 

Ahh, ya, jangan lupa tambahkan backsound dari band indie #Senandung yang berjudul ‘Hujan di Balik Jendela’.



Menyenangkan sekali ya. Haha. Begitu sederhana untuk membuat diriku bahagia. Sore, hujan, teh hangat nan wangi, plus backsound hujan di balik jendela.


(Sumber: unsplash.com)

(Sumber: unsplash.com)


For your information, sebenarnya aku tidak suka hujan. Aku bukan tipe anak indie kebanyakan, yang menyukai hujan, kopi, senja dan puisi.




G r a c i a s . . . .




(Photo by Author)


“I AM SARAHZA”

Oleh Hanum Salsabiela Rais & Rangga Almahendra

Penerbit Republika

Cetakan ke-5, Februari 2019

370 hlm; 13,5x20,5 cm

Rp75.000,-

 

 

 

“Laa Yukallifuwwah-hu Nafsan illaa Wus’ahaa”

Tidaklah Dia akan membebani kita hamba-Nya dengan beban yang tak kuasa kita pikul

 

While there’s hope, there’s life

Di mana ada harapan, di situ ada kehidupan

 

Takjub. Takjub akan kuasa Allah SWT, Tuhan seru sekalian Alam. Takjub akan keajaiban Lauhul Mahfuzh. Takjub akan kegigihan seorang perempuan yang mendamba predikat ‘Ibu’. Dan takjub akan kekuatan doa.

 

Itulah yang kurasakan ketika selesai membaca buku yang membuatku benar-benar tak habis pikir akan seorang Hanum Salsabiela Rais, putri kedua Bapak Amien Rais (mantan calon presiden RI 2004). Benar-benar tidak kusangka.

 

Sungguh, di dunia ini satu-satunya sumber keajaiban adalah Allah SWT.

Jika kau merasa benar-benar sudah mengerahkan seluruh tenaga dan usahamu untuk meraih sesuatu yang kau inginkan, yakinlah, masih ada satu faktor terakhir sebagai penentu keberhasilan usaha itu, ialah faktor X, faktor paling puncak, alias berserah diri kepada Allah SWT.

 

Sudah sering mendengar itu kan?

Kewajiban kita adalah berusaha dan berdoa. Sisanya urusan Allah SWT. Apapun hasilnya, jika Allah SWT berkehendak demikian, artinya, hasil tersebut memang yang terbaik untuk kita. Setidaknya untuk sekarang.

 

Awalnya kupikir ini hanya buku biasa yang menceritakan seorang anak perempuan kesayangan Hanum dan Rangga, paling-paling isinya juga nggak jauh-jauh dari memamerkan kebahagiaan, keceriaan, senda gurau dan lain-lain. Hehe. Aku sudah keterlaluan ya su’udzonnya.

 

Tapi aku tetap tertarik untuk memilikinya. Mengingat karya-karya Hanum sebelumnya yang berhasil membuatku berdecak kagum dan berlinang air mata, pastilah karyanya yang ini juga akan membuatku lebih terheran-heran.

 

Dan ternyata benar.

 

(Sumber: twitter.com/rykarlsen)

Melalui buku ini Hanum bercerita lika-liku perjalanan hidup pasca pernikahannya dengan Rangga hingga perjuangannya untuk mendapatkan Sarahza. Asal Kau tahu, aku sudah mengincar buku ini sejak sebelum diterbitkan (tahun 2018), setelah aku menamatkan bacaanku pada buku 99 Cahaya di Langit Eropa serta Bulan Terbelah di Langit Amerika yang juga karya mereka.

 

Masyaa Allah...

Ketika membaca bagian yang membuatku terhempas, aku tidak tahu harus berkata apalagi. Sekelas penulis best seller Hanum Salsabiela Rais & Rangga Almahendra, yang namanya selalu dicetak timbul di buku karyanya, yang selalu kuinginkan agar aku bisa menjadi penulis hebat seperti dia,  ternyata mengawali karier sebagai penulis justru di saat mereka berada di titik terendah dalam hidupnya. Saat kesedihan paling berat menghujani mereka.

 

Kupikir ide menulis dua buku sejarah islam di atas adalah murni karena ia memang ingin menulisnya, ingin jalan-jalan keliling dunia, ingin menapaki sejarah islam, atau dengan kata lain karena ia bahagia. Kupikir mereka murni merasakan kebahagiaan yang tak terhingga ketika traveling di bumi Allah SWT, Eropa dan Amerika.

 

Namun, ternyata itu semua adalah salah satu usaha yang mereka lakukan alih-alih daripada terus terpuruk dalam kesedihan yang entah akan berlanjut sampai kapan. Walaupun begitu, mereka tetap menyelipkan niat dakwah dalam usaha mereka itu. Dakwah sambil menulis buku dan menyusun skenario film. Hasilnya, mereka benar belajar dari hal-hal yang tidak tahu menjadi pengetahuan dan pengalaman baru. Itu semua tersalur juga dalam diriku. Baca saja buku 99 Cahaya di Langit Eropa dan Bulan Terbelah di Langit Amerika.

 

Pikirku, bagaimana bisa ia menyelesaikan dua buku yang temanya lumayan berat itu justru di saat ia sendiri sedang dilanda kesusahan? Bukunya best seller pula. Jadi selama ini, dibalik hingar-bingar penayangan film 99 Cahaya di Langit Eropa dan Bulan Terbelah di Langit Amerika, ada jiwa manusia yang sedang tak tentram hidupnya, pikirannya khawatir dan gelisah, kesedihannya tak kunjung reda malah semakin membabi buta hingga ia hampir mengalami depresi, keluar jalur. Namanya Hanum Salsabiela Rais.

 

Masyaa Allah... sekali lagi.

(Sumber: twitter.com/rykarlsen)


Kuasa Allah SWT memang tidak bisa ditebak. Semua serba abu-abu di mata manusia. Namun, sungguh, semua takdir manusia itu sudah digariskan dalam Lauhul Mahfuzh.

 

Aku tidak ingin memberikan spoiler terlalu banyak di sini. Alangkah baiknya Kau membaca sendiri setiap detail di buku ini. Kujamin Kau akan berpendapat sama sepertiku. Takjub. Kagum. Tak habis pikir.

 

Rasanya aku ingin menyapa Hanum lalu mengatakan ini,

Mbak Hanum benar-benar hebat. Mbak Hanum lulus ujian dari Allah SWT, ujiannya pasti berat banget ya, Mbak. Mbak deserve it so much. Good job, Mbak!

 

Dan yang paling utama dari semua ini adalah adanya sosok suami yang kesetiaannya tidak diragukan sedikitpun, Rangga Almahendra, yang tidak pernah absen menemani Hanum kapanpun dimanapun, yang selalu menghibur dan memberikan jokes gombalan pada Hanum saat ia murung berhari-hari, yang selalu berada di garda terdepan untuk melindungi Hanum.

 

Aku sangat terpesona dengan kisah pertemuan mereka berdua. Pokoknya romantis dan dramatis. Kau harus baca bagian itu. Memang semua perjalanan hidup ini adalah suratan takdir. Termasuk perjalananku dan kalian juga.

 

Ah, satu lagi. Aku juga suka semangat Rangga mengejar beasiswa sampai ke Negara Austria. Semenjak tahu kehidupan Rangga menempuh predikat doktoral di Wina, aku jadi ingin mencicipi negara Austria.

 

Dari karya Hanum & Rangga inilah, aku menyukai benua Eropa. Aku juga ingin rihlah ke sana, menapaki jejak islam yang masih tersisa, belajar dan mendapatkan beasiswa. Apapun itu. Semenjak 99 Cahaya di Langit Eropa, aku jadi ingin keliling Eropa. Suatu saat. Aamiin.

 

Kalau ini adalah kisah terindah yang pernah Hanum & Rangga tulis, maka ini adalah kisah terindah yang pernah kubaca.


I give 9/10 for this book•

 

 

The depressing moments are the best moments to depress ourselves to Allah –hlm 284

 


(Sumber: twitter.com/rykarlsen)
(Sumber: twitter.com/rykarlsen)


Di angkasa,

gumpalan permen kapas yang merata

Jejak itu ada

Terlihat sangat nyata

Secercah harapan terpatri di sana

Entah kapan ia akan terbuka

 

Garis putih lurus memanjang

Terlihat sangat nyata

Namun, akal ini tak kuasa

Masih adakah ia di angkasa?

Garis itu... jejak burung beroda

Klise yang nyata

 

Dimana Sang Mimosa pudica?

Dimanakah ia?

Akankah ia terlena?

Tidak! Kurasa tidak!

Ia hanya merona, memang benar

Sang Mimosa pudica dari timur

 

Kemana tirai bening itu?

Kemanakah ia?

Mungkinkah ia marah?

Tidak! Kurasa tidak!

Ini bukan zonanya, memang benar

Tirai bening dari khatulistiwa

 

Mengapa hanya ‘ini’ yang menyala?

Gulungan butiran putih nun jauh di sana

Semakin dekat... semakin terlihat

Bola salju raksasa?

Bukan! Bukan sekadar itu, ternyata–

Seperti... manusia?

Ah! Itu boneka salju

 

Lantas, hanya inikah?

Kabut putih terlalu serakah

Sinarnya ber-efek tyndall

Langit redup mendekap jiwa

Dalam remang mataku menyapa

Di manakah siluet yang nyata?

 

Tak ada warna di sana,

putih kelabu,

hanya itu,

remang-remang,

samar,

mungkinkah... hatiku seredup itu?