(Sumber: wall.alphacoders.com)


Ketika angan ini mengelana
Terbang berayun-ayun tinggi di angkasa
Bertaut dengan lembutnya hamparan mega
Menari ria bersaingkan seribu dara
Di situlah hulu catatan mulai terbuka
Lembaran putihpun ternodakan pena
Sebenarnya...
“Apa Kau terjerat untaian asmara?”
Kisahmu bak gelaran permadani sutra
Izinkan...
Izinkan aku memoles cerita
Bukan tentang kasih dan asmara
Bukan pula tentang rajutan duka

Kala kuda perang mengabdi
Entah apa yang ia ikuti
Entah kubu hitam atau kubu putih
Bukan delusi bukan ilusi
Jejaknya tetap menapak pasti
Seruannya telah terpatri
Dangkal nun jauh dalam sanubari
Seakan iapun siap mati

Ya... ribuan tahun silam
Gedung itu penuh pujian
Sesak akan nyanyian Tuhan
Berisik oleh segerombolan pengisi alam
Ia mungkin tahu, dirinya beralih peran
Ialah Hagia Sophia, wadah peribadatan
Takhta agung bagi Umat Kristian
Hingga akhirnya diperebutkan zaman

Ya... ratusan tahun silam
Bangunan itu bagai sebongkah berlian
Berlian yang teronggok di pusat keramaian
Pasrah,
tak bergejolak,
dan diam
Ia mungkin tahu, dirinya berada di sentra peradaban
Ialah Hagia Sophia, wadah peribadatan
Singgasana agung bagi Umat Islam
Hingga akhirnya digerogoti zaman

Ya... puluhan tahun silam
Sejak kuda perang mulai berperang
Hingga kini, pedang tak lagi bertuan
Hingga kini, penguasa jagad adalah pengetahuan
Bangunan itu masih kokoh menjulang
Bagai gubug dalam rinai hujan
Bangunan itu tetap menjadi pijakan

Ia mungkin tahu,
dirinya bukan lagi wadah peribadatan
Ia mungkin tahu,
dirinyalah pencurah kedamaian
Ialah Hagia Sophia,
benang rajut kehidupan
Istana megah nan menawan
Membantai benda-benda peninggalan
Mengikat simpul tali persaudaraan

Begitulah kisah benang kedamaian
Yang merajut kembali asa kehidupan
Pembawa lentera pada angan yang makin menjulang
Entah sampai di mana ia akan terbang
Namun, di sinilah,
Di kalbu inilah catatan itu akan tersimpan
Dalam kerasnya samudra kehidupan




[Wish me can fly to the countryーnamed Turkiye, 🎔]

 
(Photo by Author)

“Hidup Apa Adanya”🌼
I Decided to Live As Myself
나는 나로 살기로 했다
Oleh Kim Suhyun
Penerbit Transmedia Pustaka
Cetakan ke-2, 2020
296 hlm; 13x19 cm
ISBN (13) 978-623-7100-29-4
Rp99.000,-


Kenapa perasaan iri itu bisa menghancurkan? Karena kita berpikir bahwa apa yang kita miliki tidak bernilai sama sekali (hlm 8).

Jangan pernah iri dengan kehidupan orang lain. Hiduplah dengan kehidupanmu sendiri. Hidup apa adanya. Teriaklah pada mereka sampai tenggorokanmu sakit dengan mengatakan, I just wanna let you know I’m proud, ya memang itu lagunya Marshmello, hihihi.

Sekali lagi, setelah membaca esai karangan penulis Korea Selatan, selalu saja diri ini merasa, hah kenapa ini aku banget? Apa memang orang Korea Selatan banyak yang merasa hidupnya tidak berarti dan penuh tekanan? Tapi, setelah dipikir lagi, memang benar, orang Korea Selatan banyak yang mengalami depresi, merasa tidak berguna, dan rendah diri. Itu juga dikatakan oleh Penulis Kim Suhyun bahwa Korea Selatan merupakan negara dengan tingkat bunuh diri yang tinggi pada warganya. Salah satu penyebabnya adalah depresi. So, dari sini aku berpikir, pantas saja banyak buku esai di Korea Selatan yang membahas tentang hakikat hidup dan sejenisnya.

Bagi orang yang minat bacanya tinggi hanya jika ada visualisasi cerita/gambar di dalamnya, maka buku ini adalah jawabannya. Aku suka sekali tata letaknya. Kau tidak akan pernah bosan dan merasa ngantuk ketika membaca buku ini. Justru yang ada adalah rasa penasaran ingin segara mengetahui epilog apa yang ingin disampaikan penulis.

Secara garis besar, buku ini meminta kita untuk hidup biasa saja. Tidak perlu memaksakan apapun demi kebahagiaan di masa depan. Yang terpenting adalah kehidupan kita untuk sekarang. Bukan pada masa lalu maupun masa depan. Kita tidak bisa menganggap sebuah kebahagiaan adalah tujuan hidup yang sebenar-benarnya. Namun, kita bisa menggunakan kebahagiaan itu untuk terus hidup pada masa sekarang, sekecil apapun itu.

Memang, di era revolusi industri 4.0 ini tidak bisa dipungkiri pentingnya keberadaan dan kemajuan teknologi. Apalagi media sosial yang semakin marak dan menjadi candu oleh masyarakat. Tidak bisa dibantah juga kalau ada yang mengatakan bahwa media sosial adalah salah satu unsur penting di zaman ini. Pada kenyataannya memang seperti itu, ‘kan? Semua orang memiliki media sosial. Semuanya berlomba-lomba eksis di akun media sosial masing-masing. Semuanya berusaha ingin dikenal dan dipahami. Tidak ada yang ingin direndahkan. Tidak ada yang ingin dikucilkan.

Namun, di luar semua itu, dampak yang dibawa oleh kecanggihan teknologi juga tidak main-main. Gara-gara menengok media sosial, instagram misalnya, seseorang bisa berubah sifat menjadi lebih murung. Atau lebih pendiam dari biasanya, bahkan bisa mengakibatkan rasa rendah diri dan kurang kepercayaan pada diri sendiri yang berakhir pada rasa depresi. Padahal, sebelum itu semua, ia telah membangun benteng pertahanan dirinya sendiri dengan cukup gigih dan bertekad kuat. Hanya karena melihat postingan foto seseorang di media sosial, benteng itu bisa rapuh dan meninggalkan luka yang sakit teramat sangat. Sebegitu besarnya pengaruh yang dibawa oleh hadirnya media sosial di tengah masyarakat ini.

Ada juga yang begini,
Aku harus bisa masuk ke Universitas A karena teman-temanku ingin masuk ke kampus itu.
Aku harus bisa diterima di perusahaan B karena teman-teman akan menilaiku sebagai seorang yang sukses.
Aku ingin mengubah penampilan seperti dia yang dikagumi oleh banyak orang.
Aku ingin membeli barang bermerek agar orang-orang menilaiku sebagai orang kaya.
(Kutipan pada sinopsis buku)

Fiuhh, mari kita hempaskan napas sejenak. Begini, hidupmu itu adalah hidupmu. Kau tidak perlu mengindahkan pendapat orang. Kau berhak hidup dengan pilihanmu sendiri. Mengapa Kau sebegitu gigihnya memilih untuk menjadi orang lain daripada menjadi dirimu sendiri? Saranku, hiduplah dengan ciri khas dirimu sampai Kau menemukan versi terbaik dari dirimu sendiri.

Tapi, sulit, ya?

Ya, aku sendiri begitu. Aku juga dalam tahap untuk mencintai diriku sendiri sepenuhnya. Bangga terhadap diri sendiri adalah suatu pencapaian terbesar, Kau tahu? Lakukanlah itu daripada Kau stres menanggapi komentar orang lain terhadap dirimu. Memangnya mereka siapa?

(Sumber: stocksnap)

Kalau kata Penulis Kim Suhyun, Aturlah kebahagiaanmu sendiri. Dengan standar kebahagiaanmu, bukan standar kebahagiaan orang lain. Kau tidak perlu memaksakan diri untuk menjadi baik agar dinilai baik. Kau hanya perlu menjadi dirimu sendiri, apa adanya.

I give 9/10 for this book•

Dari Kurt Cobain,
Daripada aku dicintai karena kebohonganku, lebih baik aku dibenci karena apa adanya diriku. 


Terima Kasih
Salam Hangat