(Sumber: stocksnap.io)


H a l o  ~  ! !
Aku ingin berbagi secuil pengalamanku terkait universitas dan masa depan. Jika Kau adalah seorang siswa kelas 12 SMA yang saat ini frustasi berat memikirkan nasib pendidikanmu yang selanjutnya, ku rasa pilihan yang tepat jika Kau memutuskan untuk membaca celotehanku ini dulu.

Saat menuliskan ini, aku adalah seorang Mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan sarjana tingkat semester 6 di salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia yang namanya belum terlalu populer layaknya Big 3 :D
Sebelumnya, aku ingin bertanya dulu, apa Kau pernah mendengar kalimat ini?
“Untuk mendapatkan sesuatu, Kau juga harus kehilangan sesuatu.”
Ya, kalimat itu yang akan menghiasi ceritaku nanti. Paham, ‘kan?
Di dunia ini, Kau harus mengorbankan sesuatu untuk sesuatu yang Kau inginkan. Dan aku tidak melakukan itu. Aku tidak mengorbankan apapun untuk yang aku inginkan. Aku tidak pernah mengorbankan apapun demi masa depanku. Semua itu dimulai ketika aku lulus dari jenjang SMA dan akan mendaftarkan diri ke universitas. Dan beginilah aku sekarang. Mahasiswa yang tidak tahu apapun tentang masa depannya. Bahkan sekadar untuk rencana/mindmap saja aku tidak punya. Selama ini, aku memang hanya mengikuti arus seperti orang bodoh. Aku belum merencanakan apapun terkait kehidupanku pascasarjana. Padahal, itu semua sudah di depan mata. Tahun depan jadwalku untuk wisuda kelulusan. Setelah itu?ー

Kau yang saat ini akan mendaftar ke universitas, sebaiknya pikirkan matang-matang rencana kedepanmu. Pikirkan apakah memang itu yang Kau inginkan. Sesungguhnya, memang benar, melakukan sesuatu yang tidak Kau sukai hanya akan merepotkan hidupmu. Sia-sia saja Kau melakukannya karena terpaksa. Maka dari itu, kuingatkan dari sekarang, pilihlah sesuatu karena memang Kau suka, bukan karena tekanan atau paksaan.

Kau benar. Aku berada di sini, sekarang ini, bukan karena aku suka. Aku tidak mengharapkan apapun dari pendidikanku di universitas ini. Rasa-rasanya aku ingin mengulang semuanya dari awal. Benar-benar atas keinginanku sendiri. Aku belum merasa puas hingga mampu membuatku berpikir, ya memang ini pilihan yang tepat untukku.
Aku belum di titik itu. Kubilang, aku hanya mengikuti arus yang mengalir saja sampai detik ini.
Tapi, memang ini salahku juga. Sekali lagi, aku tidak mengorbankan apapun untuk yang kuinginkan.

Tahun ketika aku lulus SMA, aku sudah mendaftarkan diri untuk masuk ke jurusan P di salah satu universitas Big 3. Namun, failed. Padahal itu adalah satu-satunya jurusan yang kuinginkan entah sejak kapan dan aku tidak tahu lagi harus masuk ke jurusan apa selain itu.
Aku juga mendaftarkan diri di universitas milik instansi pemerintah, dan failed. Padahal keinginanku masuk ke sana adalah semata-mata karena ingin mengubah hidupku yang begini-begini saja.
Next, ujian selanjutnya, aku akhirnya lolos di jurusan A di salah satu PTN di Indonesia. Senang? Tentu saja, setidaknya aku bisa masuk universitas, pikirku saat itu.
Tunggu. Jangan Kau pikir jurusan A adalah jurusan pilihanku. Tidak. Sama sekali tidak terpikir olehku untuk masuk ke jurusan itu. Aku hanya menuruti kata-kata orangtua yang saat itu melihatku sangat putus asa untuk melanjutkan studi ke universitas.
Bodohnya aku, di tahun berikutnya aku tidak kembali mencoba untuk mengikuti ujian masuk jurusan P di U-Big 3 tadi. Hal itu masih kusesali sampai detik ini. Aku benar-benar menyalahkan situasi saat itu. Bisa-bisanya aku menyerah begitu saja? Bisa-bisanya usahaku hanya sampai segitu saja? Bisa-bisanya aku tidak mengejar apa yang kuinginkan dan memilih mengikuti arus yang sudah berjalan? Serius, memikirkan ini lagi, hanya membuat penyesalanku bertambah besar. Aku tak habis pikir terhadap diriku sendiri. Di saat orang-orang sibuk menggapai mimpi mereka tak peduli seberat apapun itu, aku malah memilih melanjutkan berjalan padahal itu bukan arah jalanku.

Aku berpikir seperti ini,
Kalau saja dulu aku berada di jurusan P, tentu saja aku tidak sebosan ini dengan kehidupan universitas. Tentu saja aku akan serius dalam belajar. Tentu saja aku punya sederet rencana untuk masa depan. Tentu saja aku puas dan bahagia dengan jalan yang kupilih sendiri. Kalau saja... .

Bahkan, aku masih sangat iri kalau melihat teman-temanku di SMA yang bahkan rela mengikuti ujian berkali-kali demi masuk jurusan di universitas pilihannya. Hasilnya? Mereka menikmati, aku tidak.
 
(Sumber: twitter)

Jadi, bagaimana ya mengatakannya?
Kalau sudah suka, apapun pasti akan dilakukan.
Sampai sekarang aku selalu berpacu pada kalimat itu. Walaupun sekarang aku tidak tahu harus berbuat apa untuk masa depanku, setidaknya, untuk sekarang ini, aku akan melakukan hal-hal yang membuatku bahagia. Aku melakukannya karena aku suka, bukan karena tekanan apa-apa.

Ya, memang untuk mendapatkan sesuatu, Kau harus kehilangan sesuatu. Mulai sekarang, perjuangkanlah apa yang Kau cita-citakan, apa yang Kau mau. Jangan pernah berkorban jika memang tidak seharusnya untuk berkorban. Perjuangkan sampai mati kalau bisa. Hidupmu adalah Kau yang berhak mengatur. Kau berhak atas kebahagiaan dirimu. Kau tidak seharusnya mengikuti arus. Kau boleh membelokkan arus yang tidak sesuai arahmu.
Sekali lagi, demi masa depanmu, agar Kau tidak terjebak seperti diriku.

Penting sekali untuk terus mencari hal-hal dan cara lainnya yang bisa membuat Anda merasa nyaman dan bahagia. ーBaek Sehee (dari buku I Want To Die But I Want To Eat Tteokpokki)
(Photo by Author)


The Things You Can See Only When You Slow Down” 🌷
Oleh Haemin Sunim
Penerbit POP, Kepustakaan Populer Gramedia
Cetakan ke-1, April 2020
265 hlm; 13,5 cm x 18 cm
ISBN 978-602-481-365-9
Rp112.500,-


“Apakah memang dunia yang terlalu sibuk, atau malah batin saya?”
Siapa yang tidak pernah memikirkan hal itu? Siapa yang tidak pernah berkata pada diri sendiri, sebenarnya aku hidup ini untuk apa? Bagaimana caraku hidup selama ini? Apa sudah benar? Apa ada yang perlu aku perbaiki? Apakah ini sesuai dengan keinginanku? Sudah sejauh mana aku melangkah untuk menggapai mimpiku?

Pasti Kau pernah memikirkan hal-hal remeh seperti itu, ‘kan? Ya, aku pernah. Bahkan, sampai sekarangpun aku masih tidak tahu arah kehidupanku itu mau dikemanakan atau mau berbuat apa aku nanti di masa depan.

Buku yang sudah terjual lebih dari tiga juta eksemplar di Korea Selatan ini mengajak kita untuk istirahat sebentar dari hiruk pikuk dan gemerlapnya dunia. Tentang kedamaian, ketenangan, kebersadaran, cinta, masa depan, spiritualitas. Terkadang kita mengejar sesuatu tanpa tahu apakah itu memang yang seharusnya kita dapatkan. Terkadang kita mengejar sesuatu hanya untuk melampiaskan kekesalan. Terkadang kita tidak menyadari bahwa apa yang kita lakukan saat ini hanyalah sebuah kesia-siaan dan tak bernilai di masa depan.

Ini seperti yang dikatakan Haemin Sunim,
Beberapa orang tidak tahu apa yang mereka cari di hidup ini. Ini mungkin terjadi karena, bukannya mendengar apa isi perasaan mereka, mereka menjalani hidup dengan menuruti harapan orang lain. Jalani hidup bukan untuk memuaskan orang lain, melainkan untuk memenuhi keinginan hati kita.

Buku ini sangat menenangkan, relate dibaca oleh diriku dan dirimu yang sampai saat ini belum menemukan jalan menuju keseimbangan dan kedamaian batin di tengah berbagai tuntutan hidup sehari-hari. Tulisannya begitu singkat, seperti quotes yang tersusun rapi dan indah. Ada beberapa hal yang diceritakan Haemin Sunim sangat pas dan cocok dengan realita suramnya kehidupan ini.

Ada kalanya, kita memang butuh istirahat, sendirian, di tempat yang benar-benar sunyi dan menyejukkan, bukan untuk merutuki dan menyalahkan diri sendiri. Namun, untuk menggembirakan batin kita. Menjernihkan pikiran kita. Pergilah ke danau jika memang itu perlu. Pergilah ke puncak gunung jika memang itu perlu. Pergilah ke pojok dunia jika memang itu perlu. Carilah tempat dan suasana yang bisa mendamaikan hati dan pikiran. Pergilah sendirian, hanya ada kita dan jalanan.

Aku teringat sesuatu ketika membaca buku ini. Selama ini aku belum bisa berdamai dengan diri sendiri. Terkadang aku masih menyalahkan diriku atas apa yang menimpaku selama ini. Terkadang aku masih tidak bisa jujur pada diriku sendiri, serius, yang ini sangat sulit kulakukan. Terkadang aku juga sangat malu dan marah dengan keadaanku yang seperti ini. Mengapa aku tidak bisa seperti mereka?

Namun, kembali lagi ke Haemin Sunim, bahwa,
Hanya karena kita sedikit tertinggal, janganlah patah semangat. Hidup bukanlah suatu perlombaan lari seratus meter melawan orang lain, melainkan maraton seumur hidup melawan diri sendiri. Alih-alih memfokuskan diri untuk menyalip orang lain, lebih baik temukan keunikan kita terlebih dahulu.

(Sumber: google)

Jadi, selama ini aku memutuskan untuk selalu memulai hidup dengan berpikir seperti ini, bodoamat dengan apa yang kulakukan sekarang dan apa tanggapan orang lain tentang itu, yang paling penting adalah rasa kepuasan dan kebahagiaanku itu sendiri.
 
Teruntuk kalian yang masih dalam fase dilema dan gelisah di usia yang seharusnya tidak boleh untuk bersikap seperti itu, fighting. Aku tahu, aku tidak seharusnya mengucapkan kata itu di situasi sulit yang sedang kalian hadapi. Aku tahu sebagian besar dari kalian membenci kata itu, bahkan aku sendiri juga. Kata-kata pendorong semangat yang sesungguhnya bukanlah kata semangat itu sendiri melainkan saat seseorang ada di hadapan mereka sambil menepuk pundak lalu bersama-sama melantangkan, tidak apa-apa ayo kita selesaikan bersama.

Yang terpenting dari semua ini adalah,
Ketika kehidupan mengecewakan, istirahatlah sejenak.
I give 8/10 for this book•

Thankyou Writer Haemin Sunim for the awesome and lovely warming book. You are such a great lecturer!

Terima Kasih
Salam Hangat